MEDIA INDEPENDENT KOMNAS HAM PARTAI CALEG 2009 GEOPOL

SLOGAN


Ekonomi Neoliberal dan Kerusakan Bangsa

SEJAK pemerintahan rezim Orde Baru hingga pemerintah Indonesia Bersatu di bawah Yudhoyono-Kalla, penerapan kebijakan ekonomi Indonesia senantiasa bertumpu pada paradigma ekonomi neoliberalisme, yang mengagungkan penerapan mekanisme pasar. Beberapa instrumen kebijakan ekonomi yang menganut paradigma neoliberialisme, di antaranya liberalisasi, deregulasi, privatisasi, dan pencabutan subsidi.

Penerapan ketiga instrumen itu lebih mengarah pada pemihakan yang berlebihan kepada pasar (market friendly) secara konsisten. Bahkan, siapa pun presiden negeri ini, kebijakan ekonominya harus market friendly. Tidak mengherankan kalau penerapan paradigma neoliberal hanya menguntungkan beberapa gelintir orang saja, sedangkan sebagian besar rakyat makin terpinggirkan. Masifnya penerapan kebijakan ekonomi dengan paradigma neoliberal tidak saja telah menyengsarakan kehidupan rakyat kecil, tetapi juga telah merampas kedaulatan rakyat dan mengancam kemandirian ekonomi bangsa.

Paradigma Neoliberal
Atas nama mekanisme pasar, kebijakan liberalisasi dipaksakan hampir di semua sektor perekonomian. Liberalisasi sektor pertanian tidak hanya menyebabkan terpuruknya petani Indonesia, tetapi juga menyebabkan ketergantungan terhadap korporasi asing dalam penyediaan pangan di Indonesia.

Liberalisasi telah memaksa rakyat kecil ke dalam parade antrean operasi pasar untuk mendapatkan minyak goreng curah dengan harga terjangkau, pada saat harga CPO di pasar dunia membumbung tinggi. Bagi negeri penghasil kelapa sawit terbesar di dunia, kondisi ini sungguh amat ironis. Deregulasi pasar modern telah meminggirkan keberadaan pasar tradisonal dan mempercepat proses kepunahan pasar tradisional di Indonesia.


Privatisasi BUMN menyebabkan berpindahnya sebagian besar kepemilikan saham BUMN ke tangan jaringan pemodal asing. Padahal menurut konstitusi, pendirian BUMN dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Penyerahan secara total pengelolaan sumber daya alam kepada jaringan pemodal asing juga mendorong adanya penghisapan besar-besaran yang hanya menyisakan perusakan lingkungan secara masif.


Pada saat harga minyak di pasar dunia meroket, penghapusan subsidi dengan menyetarakan harga BBM dengan harga keekomian pasar dunia, tidak hanya menurunkan kesejahteraan bagi rakyat akibat naiknya harga BBM dalam negeri, tetapi juga mengancam keberadaan pengusaha SPBU nasional akibat masuknya jaringan modal asing ke sektor distribusi BBM. Pengurangan subsidi pupuk menyebabkan peningkatan biaya produksi yang makin memberatkan beban petani.


Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa sebenarnya paradigma neoliberal tidaklah tepat diterapkan di Indonesia.


Lebih-lebih paradigma neoliberal sudah hampir runtuh dengan adanya krisis keuangan global yang bermula dari krisis keuangan dari Amerika Serikat (AS), yang selama ini dikenal sebagai negeri kapitalis pelopor dan penganjur paradigma neoliberal. Penerapan ekonomi neoliberal saat ini lebih banyak membawa kerusakan bagi bangsa Indonesia.

Paradigma Ekonomi Kerakyatan
Runtuhnya paradigma neoliberal merupakan momentum yang tepat bagi bangsa Indonesia untuk merumuskan paradigma ekonomi alternatif yang lebih sesuai dengan situasi dan kondisi di Indonesia. Salah satu alternatif tersebut adalah paradigma ekonomi kerakyatan. Rumusan Paradigma ekonomi kerakyatan itu harus mengarah pada upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat, mengembalikan kedaulatan ekonomi rakyat, dan mendorong kemandirian ekonomi bangsa Indonesia.

Menurut Mubyarto, pada dasarnya, paradigma ekonomi kerakyatan adalah tatanan ekonomi yang berasaskan kekeluargaan, berkedaulatan rakyat, bermoral Pancasila, dan menunjukkan pemihakan sungguh-sungguh pada rakyat yang lemah. Pemihakan kepada rakyat ini seharusnya diwujudkan pemerintah melalui berbagai kebijakan ekonmomi dan regulasi yang dikeluarkannya.


Paradigma ekonomi kerakyatan sesungguhnya tidak menafikan begitu saja adanya mekanisme pasar. Namun, berbeda dengan mekanisme pasar yang pelakunya bersaing secara bebas di pasar, tanpa ada intervensi. Paradigma ekonomi kerakyatan lebih mengedepankan perlindungan dan pemihakan pemerintah kepada pelaku ekonomi lemah, yang belum mampu bersaing secara bebas di pasar, melalui intervensi pemerintah.

Pasar tradisional tidak akan pernah mampu bersaing secara bebas melawan raksasa jaringan pasar modern, tanpa ada perlindungan dan pemihakan dari pemerintah. Seharusnya, pemerintah melindungi pasar tradisonal dengan mengeluarkan peraturan tentang zonnig untuk mencegah kepunahan pasar tradisional akibat gempuran bertubi-tubi dari jaringan pasar moderen.

Ciri utama paradigma ekonomi kerakyatan adalah kebersamaan dalam menjalankan proses produksi dan distribusi untuk menghasilkan produk dan jasa yang dikerjakan oleh sebagian besar rakyat, dipimpin oleh perwakilan rakyat, dan dimiliki seluruh rakyat. Adanya asas kebersamaan ini dapat meminimkan kesenjangan di antara anggota masyarakat melalui pemerataan distribusi pendapatan.

Dengan penerapan paradigma ekonomi kerakyatan, gap antara si kaya dan si miskin tidak akan ditoleransi lagi, karena setiap kebijakan pembangunan harus memihak dan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat yang paling miskin dan kurang sejahtera.

Dalam penyusunan kebijakan yang berasaskan ekonomi kerakyatan diperlukan adanya sasaran fundamental sebagai indikator yang akan dicapai dalam setiap tahapan pembangunan ekonomi. Beberapa indikator tersebut, di antaranya (1) pencapaian laju pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan. (2) pengurangan angka kemiskinan, jumlah pengangguran, dan ketimpangan, (3) peningkatan kesejahteraan rakyat, (4) pencapaian kedaulatan ekonomi rakyat, dan (5) pencapaian kemandirian bangsa dalam pengelolaan perekonomian.

Dengan demikian, penetapan indikator pembangunan ekonomi haruslah mencerminkan kondisi riil kesejahteraan rakyat, kedaulatan rakyat, dan kemandirian bangsa. Bukan semata-mata penetapan indikator ekonomi makro saja, seperti GNP, pertumbuhan ekonomi, tingkat suku bunga, nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, dan tingkat inflasi, yang selama ini digunakan sebagai indikator pembangunan ekonomi yang menganut paradigma neoliberlaisme.

Memang, konsep paradigma ekonomi kerakyatan yang telah dirumus-kembangkan belum sempurna, masih pada tataran paradigma dan sebagian konsep masih bersifat normatif. Pada kondisi inilah muncul relevansi yang kuat untuk menjabarkan lebih lanjut paradigma ekonomi kerakyatan agar dapat diterapkan pada tataran praksis kebijakan ekonomi di Indonesia. Untuk itu perlu upaya serius dan terus-menerus dari berbagai komponen bangsa untuk mengkaji rumusan teoretis-akademis dan menjabarkan penerapan ekonomi kerakyatan pada tataran praksis kebijakan yang diatur dalam Undang-Undang Demokrasi Ekonomi.

0 komentar:

CLOCK

Login | Facebook

Yahoo! Messenger